Wednesday, January 21, 2009

MENGAPA DIABETES MELITUS MENINGKATKAN RISIKO TERJADINYA PENYAKIT KARDIOVASKULAR ?

Pendahuluan
Penyebab kematian dan kesakitan utama pada penderita diabetes (baik DM tipe 1 maupun DM tipe 2 adalah Penyakit Kardiovaskuler.
Penyulit mikrovaskuler merupakan penyebab terjadinya retinopati, neuropati dan nefropati, sedangkan makroangiopati pada diabetes bermanifestasi sebagai aterosklerosis dini yang dapat mengenai organ-organ vital (jantung dan otak). Penyebab aterosklerosis pada penderita DM tipe 2 bersifat multifaktorial yang melibatkan interaksi kompleks dari berbagai keadaan seperti hiperglikemi, hiperlipidemi, stres oksidatif, penuaan dini, hiperinsulinemi dan/atau hiperproinsulinemi serta perubahan-perubahan dalam proses koagulasi dan fibrinolisis.

Hipotesis terbaru mengatakan bahwa awal terjadinya lesi aterosklerosis yaitu berupa adanya perubahan-perubahan fungsi sel endotel.
Disfungsi endotel dapat terjadi baik pada penderita DM tipe 2 dan juga pada penderita DM tipe 1 terutama bila telah terjadi manifestasi klinis mikroalbuminuria. Disfungsi endotel juga dapat terjadi pada individu dengan resistensi insulin (pasien obese) atau yang mempunyai risiko tinggi untuk menderita DM tipe 2 (toleransi glukosa terganggu) dan penderita diabetes gestasi.
Pada penderita DM, risiko payah jantung kongestif meningkat 4 sampai 8 kali. Peningkatan risiko ini tidak hanya disebabkan karena penyakit jantung iskemik. Dalam beberapa tahun terakhir ini diketahui bahwa diabetes dapat mempengaruhi otot jantung secara independen selain melalui keterlibatan aterosklerosis dini arteri koroner yang menyebabkan penyakit jantung iskemik. Hal ini diduga karena terjadi perubahan-perubahan antara lain terjadinya fibrosis interstisial, pembentukan kolagen dan hipertrofi sel-sel otot jantung. Pada tingkat seluler terjadi gangguan pengeluaran kalsium dari sitoplasma, perubahan struktur troponin T dan peningkatan aktivitas Pyruvate Kinase. Perubahan2 ini menyebabkan gangguan kontraksi dan relaksasi otot jantung dan peningkatan tekanan end-diastolic sehingga dapat menimbulkan kardiomiopati restriktif.
Tinjauan pustaka ini bermaksud untuk menjelaskan patofisiologi terjadinya peningkatan risiko Penyakit Kardiovaskuler pada penderita Diabetes Melitus. Sebelumnya akan diterangkan terlebih dahulu peranan sel endotel dalam mempertahankan homeostasis pembuluh darah.

Fungsi sel endotel
Sel endotel melapisi bagian dalam lumen dari seluruh pembuluh darah dan berperan sebagai penghubung antara sirkulasi darah dan sel-sel otot polos pembuluh darah. Disamping berperan sebagai sawar fisik antara darah dan jaringan, sel endotel memfasilitasi berbagai fungsi yang kompleks dari sel otot polos pembuluh darah dan sel-sel didalam kompartemen darah. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa sel endotel memegang peran penting dalam proses homeostasis yang terjadi melalui integrasi berbagai mediator kimiawi.
Sistem ini mempunyai efek baik terhadap sel-sel otot polos pembuluh darah maupun sel-sel darah sehingga dapat menimbulkan berbagai perubahan antara lain :
1. Vasodilatasi atau vasokonstriksi untuk mengatur kebutuhan suplai darah bagi seluruh organ tubuh manusia.
2. Pertumbuhan dan atau perubahan-perubahan karakteristik penotif dari sel-sel otot polos pembuluh darah.
3. Perubahan-perubahan proinflamasi atau antiinflamasi.
4. Mempertahankan kekentalan darah dan mencegah perdarahan.

Fungsi sel endotel :
  • Target fungsionil dari sel endotel
  • Fungsi spesifik
  • Lumen
  • Vasokonstriksi
  • Vasodilatasi
  • Endothelin
  • Angiotensin II
  • ET-1
  • Thromboxane A2
  • PGH2
  • NO
  • Bradikinin
  • Hyperpolarizing factor
  • Pertumbuhan
  • Stimulasi
  • Inhibisi
  • Platelet growth derived factor
  • (PGDF) Fibroblast Growth Factor
  • IGF-1
  • Endothelin
  • Angiotensin II
  • NO
  • PGI2
  • TGF
  • Inflamasi
  • Proinflamasi
  • Anti-inflamasi
  • Adhesion molecules
  • ELAM, VCAM, ICAM
  • Hemostasis
  • Protrombotik
  • Antitrombotik
  • PAI-1
  • Prostacyclin
  • TPA


1. Nitrat oksida : mediator kunci dari sel endotel.
Selama beberapa dekade , telah terbukti bahwa nitrat oksida tidak hanya berperan dalam mengontrol tonus vasomotor melainkan juga berperan dalam homeostasis pembuluh darah dan syaraf serta proses imunologik. Nitrat oksida endogen diproduksi melalui perubahan asam amino L-arginine menjadi L-citrulline oleh enzim NO-synthase (NOS).
Saat ini beberapa isoform dari NOS telah berhasil dipurifikasi dan diklon sebagai :
NOS-type I (yang diisolasi dari otak= neuronal NOS-type I) dan NOS-type III (yang diisolasi dari sel endotel= endothelial NOS-type III) yang disebut juga constitutive-NOS (cNOS). Kedua isoform ini diatur oleh Ca+2-calmodulin dan NADPH, flavin adenine dinucleotide/mononucleotide (FAD/FMN), dan tetrahydrobiopterin (HB4) sebagai kofaktor. Neuronal-NOS type I berperan penting dalam proses transmisi syaraf, kontrol homeostasis pembuluh darah dan dalam proses pembelajaran dan memori. Didalam sistem syaraf tepi, NOS berhubungan dengan jalur syaraf nonadrenergic noncholinergic (NANC).
Endothelial-NOS (eNOS type III) berperan penting dalam mengontrol tonus pembuluh darah sebagai respons terhadap berbagai rangsangan, seperti rangsangan mekanik (shear stress), receptor dependent (asetil kholin) dan reseptor independen (calcium ionophore).
Nitrat Oksida yang dihasilkan oleh NOS type III didalam endotel akan berdiffusi kedalam otot polos pembuluh darah yang akan mengaktifkan enzim guanylate cyclase. Bersamaan dengan peningkatan cyclic GMP, akan terjadi relaksasi dari otot polos pembuluh darah. Jadi hasil akhir dari peningkatan Nitrat Oksida akan terjadi vasodilatasi.
Sel endotel memproduksi nitrat oksida (NO) yang akan berdiffusi kedalam sel-sel otot polos pembulah darah dan mengaktivasi enzim guanylate cyclase yang memproduksi cyclic GMP. Cyclic GMP akan merangsang relaksasi otot sehingga akan terjadi vasodilatasi. NOS type III juga berperan dalam pencegahan aggregasi platelet yang abnormal. NOS type II dan IV (yang diisolasi dari makrofag) bersifat independen terhadap Ca++-calmodulin dan disebut juga "inducible-NOS", karena aktivasinya hanya terjadi pada saat makrofag menimbulkan efek sitotoksik sebagai respons terhadap sitokin (misal dalam keadaan sepsis).

2. Angiotensin II (ANG-II).
Sel endotel juga memproduksi mediator-mediator yang merangsang vasokonstriksi, yaitu endothelin, prostaglandin dan angiotensin II serta mengatur tonus pembuluh darah dengan cara mempertahankan keseimbangan antara vasodilatasi (produksi NO) dan vasokonstriksi (pembentukan angiotensin II), Angiotensin II diproduksi oleh sel endotel pada jaringan local. Enzim yang mengatur produksi angiotensin II adalah angiotensin converting enzyme (ACE). Enzim ini bersifat proteolitik, disintesis oleh sel endotel , diekspresikan pada permukaan sel endotel dan mempunyai aktivitas dibawah pengaruh angiotensin I. Angiotensin I diproduksi melalui pemecahan dari suatu makromolekul prekursor (angiotensinogen) dibawah pengaruh renin, suatu enzim proteolitik yang dihasilkan oleh ginjal. Angiotensin II berikatan dan mengatur tonus otot polos pembuluh darah melalui reseptor angiotensin yang spesifik. Tergantung dari reseptor yang diaktivasi, ANG-II dapat memberi efek regulasi terhadap berbagai aktivitas fungsional otot polos pembuluh darah, termasuk kontraksi (vasokonstriksi), pertumbuhan, proliferasi dan differensiasi. Secara keseluruhan , kerja dari ANG-II berlawanan dengan kerja Nitrat Oksida (NO).
Sebagaimana diterangkan sebelumnya, bahwa NO merupakan produk dari enzim NOS sebagai respons terhadap pengaruh aktivator dan inhibitor spesifik. Produksi NOS juga diatur oleh konsentrasi lokal dari bradykinin. Bradykinin merupakan suatu peptida yang bekerja dengan reseptor b2 pada permukaan membran sel endotel untuk meningkatkan produksi NO melalui aktivasi NOS. Konsentrasi lokal dari bradykinin diatur oleh aktivitas ACE, dimana ACE memecah bradykinin menjadi peptida yang inaktif. Kadar ACE yang tinggi akan menghambat aktivitas NO , tidak hanya karena peningkatan produksi ANG-II, tetapi juga karena penurunan konsentrasi bradykinin. Suatu model pengaturan tonus pembuluh darah ( dan regulasi lumen pembuluh darah dimana ACE memegang peranan penting, telah dikemukakan dalam beberapa tahun terakhir. Model ini memprediksi aktivitas ACE yang tinggi akan menyebabkan vasokonstriksi karena menyebabkan penurunan produksi NO dan peningkatan produksi ANG-II. Keadaan ini akan menyebabkan kontraksi sel-sel otot polos pembuluh darah dan pengecilan diameter lumen pembuluh darah. Aktivitas enzim ini akan diikuti dengan peningkatan pertumbuhan , proliferasi dan differensiasi sel otot polos pembuluh darah dan penurunan kerja anti proliferatif dari NO serta penurunan proses fibrinolisis dan peningkatan aggregasi platelet. Membran sel endotel mengikat ACE yang bila mengalami overaktif atau over ekspresi, akan memproduksi sejumlah besar ANG-II. ANG-II bekerja langsung pada sel-sel otot pembuluh darah dengan cara menempel pada reseptor spesifik yang terdapat di membran sel. Aktivasi ACE juga akan menyebabkan katabolisme bradikinin yang lebih cepat.

3. Sel Endotel sebagai regulator hemostasis.
Sel endotel mempunyai peran penting dalam mempertahankan kekentalan darah dan mengembalikan integritas dinding pembuluh darah bila terjadi cedera untuk mencegah perdarahan.
Secara garis besar, sistem yang mempertahankan homeostasis pembuluh darah meliputi :
a.Lumen pembuluh darah (efek vasokonstriktor dan atau vasodilator)
b.Platelet
c.Koagulasi
d.Fibrinolisis
Sel endotel berperan penting dalam mempertahankan keseimbangan antara sistem koagulasi dan fibrinolitik. Koagulasi terjadi karena terbentuknya trombin yang aktif. Trombin merupakan suatu enzim proteolitik yang akan merubah fibrinogen menjadi fibrin dengan cara melepaskan fibrinopeptida A dan B. Fibrin kemudian akan mengalami polimerisasi dan cross-link membentuk gumpalan fibrin yang stabil (stable clot).
Gumpalan fibrin selanjutnya akan mengalami pemecahan akibat kerja enzim proteolitik lain, yaitu plasmin, yang merupakan efektor utama dalam sistem fibrinolitik. Plasmin terbentuk dari plasminogen melalui kerja beberapa aktivator spesifik. Secara fisiologik (dan farmakologik) aktivator penting dalam proses perubahan plasminogen menjadi plasmin adalah tissue plasminogen activator (t-PA). Peptida ini mempunyai peranan penting dalam proses pemecahan gumpalan fibrin dan mempertahankan keutuhan lumen pembuluh darah. Zat ini telah banyak digunakan dalam pengobatan berbagai keadaan dimana terjadi oklusi akut yang mengancam kehidupan seperti infark miokard, stroke dan emboli paru masif. Beberapa aktivator positif dan negatif mengatur aktivitas t-PA. Secara fisiologik regulator utama dari t-PA adalah plasminogen activator inhibitor (PAI) . Saat ini terdapat 4 jenis PAI, dimana PAI-1 berperan paling menonjol.

4. Sel endotel sbg mediator pertumbuhan sel otot polos pemb. darah dan proses inflamasi.
Sel endotel juga berperan penting dalam pertumbuhan dan differensiasi sel otot polos pembuluh darah dengan cara melepaskan berbagai promotor atau inhibitor pertumbuhan dan differensiasi, yang memberi pengaruh terhadap terjadinya remodelling pembuluh darah. Sejumlah besar peptida telah diketahui berperan sebagai messenger utama terhadap sinyal-sinyal pertumbuhan seperti insulin-like growth factor 1 (IGF-1), PGF, basic fibroblast growth factor (bFGF), dll. Namun berbagai bukti menunjukkan bahwa rangsangan pertumbuhan otot polos pembuluh darah dimediasi oleh produksi lokal dari PGF dan ANG-II. Sebagai antagonis utama dari kerja ANG-II dalam merangsang pertumbuhan sel otot polos pembuluh darah adalah NO dan prostacyclin (PGI2).
Sel endotel juga terlibat dalam produksi berbagai molekul yang berperan dalam proses inflamasi, yaitu antara lain LAM, intracellular adhesion molecule (ICAM) dan vascular cel adhesion molecule (VCAM). Molekul-molekul ini disebut sebagai "molekul adhesi" dan berfungsi mengaktifkan sel-sel yang terlibat dalam reaksi inflamasi. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa dalam proses aterosklerosis terjadi peningkatan kadar pertanda-pertanda inflamasi (acute phase proteins) didalam darah.

Patofisiologi terjadinya peningkatan risiko Penyakit Kardiovaskuler pada penderita Diabetes Melitus :

Dasar terjadinya peningkatan risiko Penyakit Kardiovaskuler pada penderita diabetes belum diketahui secara pasti. Dari hasil penelitian didapatkan kenyataan bahwa :
1. Angka kejadian aterosklerosis lebih tinggi pada penderita diabetes dibanding populasi non diabetes.
2. Penderita diabetes mempunyai risiko tinggi untuk mengalami trombosis, penurunan fibrinolisis dan peningkatan respons inflamasi.
3. Pada penderita diabetes terjadi glikosilasi protein yang akan mempengaruh integritas dinding pembuluh darah.
Haffner dan kawan-kawan, membuktikan bahwa aterosklerosis pada penderita diabetes mulai terjadi sebelum timbul onset klinis diabetes. Studi epidemiologik juga menunjukkan terjadinya peningkatan risiko payah jantung pada penderita diabetes dibandingkan populasi non diabetes, yang ternyata disebabkan karena kontrol gula darah yang buruk dalam waktu yang lama. Disamping itu berbagai faktor turut pula memperberat risiko terjadinya payah jantung dan stroke pada penderita diabetes, antara lain hipertensi, resistensi insulin, hiperinsulinemi, hiperamilinemia, dislipidemia, dan gangguan sistem koagulasi dan hiperhomosisteinemia. Semua faktor risiko ini kadang-kadang dapat terjadi pada satu individu dan merupakan suatu kumpulan gejala yang dikenal dengan istilah sindrom resistensi insulin atau sindrom metabolik.

Disfungsi endotel yang mengawali lesi aterosklerosis pada penderita diabetes melitus dapat terjadi akibat :

1. Hiperglikemi
Hiperglikemi kronik menyebabkan disfungsi endotel melalui berbagai mekanisme a.l. :
  • Hiperglikemi kronik menyebabkan glikosilasi non enzimatik dari protein dan makromolekul seperti DNA, yang akan mengakibatkan perubahan sifat antigenik dari protein dan DNA. Keadaan ini akan menyebabkan perubahan tekanan intravaskuler dan mengganggu reaktivitas serebrovaskuler akibat gangguan keseimbangan NO dan prostaglandin.
  • Hiperglikemi meningkatkan aktivasi PKC intraseluler sehingga akan menyebabkan gangguan NADPH pool yang akan menghambat produksi NO.
  • Overekspresi growth factors meningkatkan proliferasi sel endotel dan otot polos pembuluh darah sehingga akan terjadi neovaskularisasi.
  • Hiperglikemi akan meningkatkan sintesis diacylglyerol (DAG) melalui jalur glikolitik. Peningkatan kadar DAG akan meningkatkan aktivitas PKC. Baik DAG maupun PKC berperan dalam memodulasi terjadinya vasokonstriksi.
  •  Sel endotel sangat peka terhadap pengaruh stres oksidatif. Keadaan hiperglikemi akan meningkatkan tendensi untuk terjadinya stres oksidatif dan peningkatan oxidized lipoprotein, terutama small dense LDL-cholesterol (oxidized LDL) yang lebih bersifat aterogenik. Peningkatan kadar asam lemak bebas dan keadaan hiperglikemi dapat meningkatkan oksidasi fosfolipid dan protein.
  • Hiperglikemi akan disertai dengan tendensi protrombotik dan aggregasi platelet. Keadaan ini berhubungan dengan beberapa faktor antara lain penurunan produksi NO dan penurunan aktivitas fibrinolitik akibat peningkatan kadar PAI-1. Disamping itu pada DM tipe 2 terjadi peningkatan aktivitas koagulasi akibat pengaruh berbagai faktor seperti pembentukan advanced glycosylation end products (AGEs) dan penurunan sintesis heparan sulfat.
  • Walaupun tidak ada hubungan langsung antara aktivasi koagulasi dengan disfungsi endotel, namun aktivasi koagulasi yang berulang dapat menyebabkan overstimulasi dari sel-sel endotel sehingga akan terjadi disfungsi endotel.
2. Resistensi insulin dan hiperinsulinemi
Beberapa tahun yang lalu, Jialal dan kawan-kawan menemukan adanya reseptor terhadap insulin yaitu IGF-I dan IGF-II pada sel-sel dari pembuluh darah besar dan kecil dengan karakteristik ikatan yang sama dengan yang ada pada sel-sel lain. Para peneliti ini menyatakan bahwa reseptor IGF-I dan IGF-II pada sel endotel terbukti berperan secara fisiologik dalam komplikasi vaskuler yang terjadi pada diabetes.
Defisiensi insulin dan hiperglikemi kronik dapat meningkatkan kadar total protein kinase C (PKC) dan diacylglycerol (DAG). Insulin mempunyai efek langsung pada jaringan pembuluh darah. Pada penelitian terhadap jaringan pembuluh darah dari obese Zucker rat didapatkan adanya resistensi terhadap sinyal PI3-kinase.
Temuan ini membuktikan bahwa resistensi insulin akan menimbulkan gangguan langsung pada fungsi pembuluh darah. King dan kawan-kawan dalam penelitiannya menggunakan kadar insulin fisiologis mendapatkan bahwa hormon ini dapat meningkatkan kadar dan aktivitas mRNA dari eNOS, sebesar 2 kali lipat setelah 2-8 jam inkubasi sel endotel. Peneliti ini menyimpulkan bahwa insulin tidak hanya memiliki efek vasodilatasi akut melainkan juga memodulasi tonus pembuluh darah.
Toksisitas insulin (hiperinsulinemia / hiperproinsulinemia) dapat menyertai keadaan resistensi insulin/ sindrom metabolik dan awal dari DM tipe 2. Insulin meningkatkan jumlah reseptor AT-1 dan mengaktifkan Renin Angiotensin Aldosterone System (RAAS). Akhir-akhir ini telah dapat diidentifikasi adanya reseptor AT-1 didalam sel-sel beta dan didalam sel-sel endotel kapiler pulau2 Langerhans pankreas. Jadi, hiperinsulinemia mempunyai hubungan dengan Ang-II dengan akibat akan terjadi peningkatan stress oksidatif didalam pulau2 Langerhans pankreas akibat peningkatan kadar insulin, proinsulin dan amilin.

3. Hiperamilinemi
Amilin atau disebut juga Islet Amyloid Polypeptide (IAPP) merupakan polipeptida yang mempunyai gugus asam amino, disintesis dan disekresi oleh sel-sel beta pancreas bersama-sama dengan insulin. Jadi keadaan hiperinsulinemi akan disertai dengan hiperamilinemi dan sebaliknya bila terjadi penurunan kadar insulin akan disertai pula dengan hipoamilinemi. Hiperinsulinemi dan hiperamilinemi dapat menyertai keadaan resistensi insulin/ sindrom metabolic dan DM tipe 2. Terjadinya amiloidosis ( penumpukan endapan amilin) didalam islet diduga berhubungan dengan lama dan beratnya resistensi insulin dan DM tipe 2. Sebaliknya , penumpukan endapan amilin didalam sel-sel beta pankreas akan menurunkan fungsinya dalam mensekresi insulin. Sakuraba dan kawan-kawan baru-baru ini mendapatkan bahwa pada penderita DM tipe 2, peningkatan stress oksidatif berhubungan dengan peningkatan pembentukan IAPP didalam sel-sel beta pancreas. Dalam keadaan ini terjadi penurunan ekspresi SOD yang menyertai pembentukan IAPP dan penurunan massa sel beta. Temuan ini menunjukkan adanya hubungan antara terjadinya stress oksidatif dengan pembentukan IAPP , penurunan massa dan densitas sel-sel beta pancreas. Amilin juga dapat merangsang lipolisis dan merupakan salah satu mediator terjadinya resistensi insulin. Baru-baru ini ditemukan pula amylin binding site didalam korteks ginjal, dimana amilin dapat mengaktivasi RAAS dengan akibat terjadinya peningkatan kadar rennin dan aldosterone. Janson dan kawan-kawan mendapatkan adanya partikel2 amyloid (intermediate sized toxic amyloid particles = ISTAPs) yang bersifat sitotoksik terhadap sel-sel beta pancreas yang dapat mengakibatkan apoptosis dengan cara merusak membran sel.

4. Inflamasi
Dalam beberapa tahun terakhir, terbukti bahwa inflamasi tidak hanya menimbulkan komplikasi penyakit kardiovaskuler akut, tetapi juga merupakan penyebab utama dalam proses terjadi dan progresivitas aterosklerosis. Berbagai pertanda inflamasi telah ditemukan didalam lesi aterosklerosis, antara lain sitokin dan growth factors yang dilepaskan oleh makrofag dan T cells. Sitokin akan meningkatkan sintesis Platelet Activating Factor, merangsang lipolisis, ekspresi molekul2 adhesi dan up regulasi sintesis serta ekspresi aktivitas prokoagulan didalam sel-sel endotel. Jadi sitokin memainkan peran penting tidak hanya dalam proses awal terbentuknya lesi aterosklerosis, melainkan juga progressivitasnya. Pelepasan sitokin lebih banyak terjadi pada penderita diabetes, karena peningkatan dari berbagai proses yang mengaktivasi makrofag ( dan pelepasan sitokin ) , antara lain oksidasi dan glikoksidasi protein dan lipid.
Pelepasan sitokin yang dipicu oleh AGEs akan disertai dengan over produksi berbagai growth factors seperti :
- PDGF (Platelet Derived Growth Factor)
- IGF-1 (Insulin Like Growth Factor-1)
- GMCSF (Granulocyte/Monocyte Colony Stimulating Factor)
- TGF-a (Transforming Growth Factor-a)
Semua faktor ini mempunyai pengaruh besar terhadap fungsi sel-sel pembuluh darah. Disamping itu terjadi pula peningkatan pembentukan kompleks imun yang mengandung modified lipoprotein. Tingginya kadar kompleks imun yang mengandung modified LDL, akan meningkatkan risiko komplikasi makrovaskuler pada penderita diabetes baik DM tipe 1 maupun DM tipe 2. Kompleks imun ini tidak hanya merangsang pelepasan sejumlah besar sitokin tetapi juga merangsang ekspresi dan pelepasan matrix metalloproteinase-1 tanpa merangsang sintesis inhibitornya. Aktivasi makrofag oleh kompleks imun tersebut akan merangsang pelepasan Tumor Necrosis Factor (TNF) , yang menyebabkan up regulasi sintesis C-reactive protein. Baru-baru ini telah ditemukan C-reactive protein dengan kadar yang cukup tinggi pada penderita dengan resistensi insulin. Peningkatan kadar kompleks imun pada penderita diabetes tidak hanya menyebabkan timbulnya aterosklerosis dan progresivitasnya, melainkan juga berperan dalam proses rupturnya plak aterosklerosis dan komplikasi kardiovaskuler selanjutnya. Kandungan makrofag didalam lesi aterosklerosis pada penderita diabetes mengalami peningkatan, sebagai akibat dari peningkatan rekrutmen makrofag kedalam dinding pembuluh darah karena pengaruh tingginya kadar sitokin. Peningkatan oxidized LDL pada penderita diabetes akan meningkatkan aktivasi sel T yang akan meningkatkan pelepasan interferon g .
Pelepasan interferon g akan menyebabkan gangguan homeostasis sel-sel pembuluh darah. Aktivasi sel T juga akan menghambat proliferasi sel-sel otot polos pembuluh darah dan biosintesis kolagen, yang akan menimbulkan vulnerable plaque, sehingga menimbulkan komplikasi kardiovaskuler akut. Sampai sekarang masih terdapat kontroversi tentang mengapa pada pemeriksaan patologi anatomi, plak pada DM tipe 1 bersifat lebih fibrous dan calcified, sedangkan pada DM tipe 2 lebih seluler dan lebih banyak mengandung lipid. Dalam suatu seri pemeriksaan arteri koroner pada penderita DM tipe 2 setelah sudden death, didapatkan area nekrosis , kalsifikasi dan ruptur plak yang luas. Sedangkan pada penderita DM tipe 1 ditemukan peningkatan kandungan jaringan ikat dengan sedikit foam cells didalam plak yang memungkinkan lesi aterosklerosisnya relatif lebih stabil.

5. Trombosis/Fibrinolisis
Diabetes akan disertai dengan keadaan protrombotik yaitu perubahan-perubahan proses trombosis dan fibrinolisis. Kelainan ini disebabkan karena adanya resistensi insulin terutama yang terjadi pada penderita DM tipe 2. Walaupun demikian dapat pula ditemukan pada penderita DM tipe 1. Peningkatan fibrinogen serta aktivitas factor VII dan PAI-1 baik didalam plasma maupun didalam plak aterosklerotik akan menyebabkan penurunan urokinase dan meningkatkan aggregasi platelet. Penyebab peningkatan fibrinogen diduga karena meningkatnya aktivitas factor VII yang berhubungan dengan terjadinya hiperlipidemi post prandial. Over ekspresi PAI-1 diduga terjadi akibat efek langsung dari insulin dan pro insulin. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa penurunan kadar PAI-1 setelah pengobatan DM tipe 2 dengan thiazolidinediones menyokong hipotesis adanya peranan resistensi insulin dalam proses terjadinya over ekspresi PAI-1. Peningkatan PAI-1 baik didalam plasma maupun didalam plak aterosklerosis tidak hanya menghambat migrasi sel otot polos pembuluh darah, melainkan juga disertai penurunan ekspresi urokinase didalam dinding pembuluh darah dan plak aterosklerosis. Terjadinya proteolisis pada daerah fibrous cap dari plak yang menunjukkan peningkatan aktivasi sel T dan makrofag akan memicu terjadinya ruptur plak dengan akibat terjadinya sindrom koroner akut.. Mekanisme yang mendasari terjadinya keadaan hiperkoagulasi pada penderita diabetes dan resistensi insulin, masih dalam penelitian lebih lanjut.

6. Dislipidemia
Dislipidemia yang akan menimbulkan stress oksidatif umum terjadi pada resistensi insulin/sindrom metabolik dan DM tipe 2. Keadaan ini terjadi akibat gangguan metabolisme lipoprotein yang sering disebut sebagai "lipid triad", meliputi :
1. Peningkatan kadar VLDL atau trigliserida
2. Penurunan kadar HDL cholesterol
3. Terbentuknya small dense LDL yang lebih bersifat aterogenik.
Peningkatan kadar VLDL, trigliserida dan small dense LDL cholesterol serta penurunan kadar HDL cholesterol yang bersifat anti-aterogenik, anti oksidan dan anti inflamasi akan mengurangi cadangan anti oksidan alamiah. Lipoprotein mempunyai fungsi mengangkut lipid keseluruh tubuh, dimana LDL terutama berperan dalam transpor apolipoprotein (Apo) B 100; VLDL berperan dalam transpor trigliserida yang mengandung Apo E, sedangkan HDL berperan dalam mengangkut kembali cholesterol yang mengandung anti inflamasi dan anti oksidan alamiah yaitu ApoA. Molekul2 protein dari lipoprotein ini akan mengalami modifikasi karena proses oksidasi, glikosilasi dan glikoksidasi dengan hasil akhir akan terjadi peningkatan stress oksidatif dan terbentuknya Spesies Oksigen Radikal. Disamping itu modified lipoprotein akan mengalami retensi didalam tunica intima yang memicu terjadinya aterogenesis.

7. Hipertensi
Hipertensi merupakan salah satu faktor dalam resistensi insulin/ sindrom metabolic dan sering menyertai DM tipe 2. Pada penderita DM tipe 1 hipertensi dapat terjadi bila sudah ditemukan tanda-tanda gangguan fungsi ginjal yang ditandai dengan mikroalbuminuri. Adanya hipertensi akan memperberat disfungsi endotel dan meningkatkan risiko Penyakit Kardiovaskuler. Hipertensi disertai dengan peningkatan stress oksidatif dan aktivitas Spesies Oksigen Radikal, yang selanjutnya akan memediasi terjadinya kerusakan vaskuler akibat aktivasi Ang II dan penurunan aktivitas Super Oxide Dismutase. Sebaliknya glukotoksisitas akan menyebabkan peningkatan aktivitas RAAS sehingga akan meningkatkan risiko terjadinya hipertensi. Penelitian terbaru mendapatkan adanya peningkatan kadar amilin (hiperamilinemia) pada individu yang mempunyai riwayat keluarga hipertensi dan dengan resistensi insulin.

8. Hiperhomosisteinemi
Pada penderita diabetes baik DM tipe 1 maupun DM tipe 2 ditemukan polimorfisme gen dari enzim methylene tetrahydrofolate reductase yang dapat menyebabkan hyperhomocysteinemia. Polimorfisme gen ini terutama terjadi pada penderita yang kekurangan asam folat didalam dietnya. Hyperhomocysteinemi dalam diperbaiki dengan suplementasi asam folat. Homosistein terutama mengalami peningkatan bila terjadi gangguan fungsi ginjal. Peningkatan kadar homosistein biasanya menyertai penurunan laju filtrasi glomerulus. Hyperhomocysteinemia dapat menyebabkan inaktivasi nitrat oksida melalui hambatannya terhadap ekspresi glutathione peroxidase (GPx).

Terapi Disfungsi Endotel pada DM
1. Kontrol gula darah yang ketat
Hasil dari studi DCCT (Diabetes Control and Complications Trial) selama 7 tahun terhadap 1440 penderita DM tipe 1 membuktikan bahwa terapi insulin intensif dapat menurunkan kejadian mikroalbuminuria sebanyak 39% dan makroalbuminuria sbny 54%.

2. Insulin sensitizers
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa resistensi insulin akan disertai dengan disfungsi endotel. Oleh karena itu beberapa peneliti mencoba membuktikan apakah obat-obat yang dapat meningkatkan sensitivitas insulin juga dapat memperbaiki disfungsi endotel. Pasceri dkk41 mendapatkan bahwa troglitazone (aktivator PPAR g dan juga suatu insulin sensitizer) secara in vivo menghambat ekspresi VCAM-1 dan ICAM-1 pada sel endotel yang diaktifkan. Obat ini juga secara bermakna menurunkan jumlah /kandungan monosit/makrofag pada plak aterosklerotik. Dalam beberapa penelitian yang lain, obat ini juga menurunkan ekspresi VCAM-1, ICAM-1 dan E-selectin yang diinduksi oleh oxidized LDL dan TNF. Dalam suatu penelitian lain , Tack dkk42 mendapatkan bahwa troglitazone dapat memperbaiki sensitivitas insulin, namun tidak mempunyai efek terhadap respons vaskuler yang endothelium-dependent. Penelitian-penelitian diatas menunjukkan manfaat jangka pendek dari insulin sensitizer terhadap fungsi endotel pada penderita DM tipe 2 atau resistensi insulin. Namun sampai saat ini belum ada studi jangka panjang yang dapat menyimpulkan bahwa insulin sensitizer bermanfaat dalam mencegah atau memperlambat progresivitas aterosklerosis pada penderita DM tipe 2 atau sindrom resistensi insulin.

3. ACE inhibitors
Studi TREND (Trial on Reversing Endothelial Dysfunction) ingin membuktikan teori bahwa hambatan ACE dengan quinapril dapat memperbaiki disfungsi endotel pada penderita PJK normotensi tanpa payah jantung, kardiomiopati atau dislipidemia. Setelah 6 bulan terapi, kelompok yang diterapi dengan quinapril menunjukkan perbaikan bermakna dalam repons vasodilatasi terhadap konsentrasi tertentu dari asetilkholin dibandingkan kelompok plasebo. Peneliti menduga bahwa manfaat hambatan ACE terjadi karena perbaikan efek ANG-II terhadap kontraksi dan produksi superoksida serta peningkatan produksi NO dari sel endotel sebagai respons terhadap penurunan metabolisme bradykinin.
Studi QUIET (Quinapril Ischemic Event Trial) meneliti 1750 pasien dengan fungsi ventrikel kiri normal yang mengalami angiografi dan angioplasti , secara acak diberikan 20mg/hari quinapril atau plasebo dan dipantau selama 3 tahun. Dari penelitian ini tidak diperoleh kesimpulan tentang peranan hambatan ACE sebagai anti aterosklerosis, karena semua pasien yang diikutsertakan dalam studi ini sudah mengalami aterosklerosis.
Penelitian terbaru , yaitu HOPE (Heart Outcomes Prevention Evaluation) study, meneliti tentang peranan ramipril pada pasien yang mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya komplikasi kardiovaskuler namun tanpa disfungsi ventrikel kiri atau payah jantung. Sebanyak 9297 pasien (usia 55 tahun keatas) dengan penyakit pembuluh darah atau DM disertai satu faktor risiko kardiovaskuler diberikan ramipril (10 mg perhari) atau plasebo selama rata-rata 5 tahun. Hasil akhir berupa infark miokard, stroke atau kematian akibat penyulit kardiovaskuler. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ramipril secara bermakna menurunkan angka kematian akibat penyebab kardiovaskuler dan angka kejadian infark miokard serta stroke pada penderita dengan risiko tinggi. Hal ini membuktikan bahwa penggunaan ACE inhibitor ramipril dapat mencegah progresivitas dari silent atherosclerosis.

4. Obat-obat hipolipidemik
Sebagaimana diterangkan sebelumnya, diantara faktor2 lain, hiperlipidemia dan peningkatan kadar oxidized LDL merupakan faktor risiko untuk terjadinya disfungsi endotel pada penderita diabetes. Statin telah dipergunakan secara luas dalam pengobatan hiperkholesterolemi pada penderita DM tipe 2, namun belum ada bukti yang menunjukkan efek obat ini terhadap fungsi endotel pada penderita DM tipe 2.46 Suatu studi kecil (dengan 21 pasien DM tipe 2 + hiperkholesterolemi ) yang diberi simvastatin (10 mg/hari) selama 24 minggu tidak menunjukkan perbaikan yang bermakna dalam fungsi endotel. Evans dkk meneliti efek terapi fibrate jangka pendek (3 bulan) terhadap fungsi endotel dan stres oksidatif pada penderita DM tipe 2. Dari hasil penelitiannya didapatkan bahwa terapi fibrat memperbaiki fungsi endotel penderita DM tipe 2 disertai dengan perbaikan kadar trigliserida serum.

5. Suplementasi Arginine dan antioksidan
L-arginine merupakan substrat bagi pembentukan NOS, sehingga diasumsikan bahwa pemberian suplemen L-arginine dapat mengaktivasi NOS dan meningkatkan produksi NO serta memperbaiki vasodilatasi. Hipotesis ini telah diteliti pada berbagai keadaan yang menyertai disfungsi endotel seperti pada payah jantung kronik, cyclosporin-induced endothelial damage dan DM tipe 2. Namun tidak semua penelitian tersebut dapat membuktikan bahwa suplementasi L-arginine mempunyai efek dalam meningkatkan produksi NO dan meningkatkan vasodilatasi. Sampai sekarang belum jelas bagaimana peningkatan kadar L-arginine didlm plasma dpt meningkatkan aktivasi NOS.
Vitamin E dan vitamin C serta terapi anti oksidan lain dikatakan dapat memperbaiki fungsi pembuluh darah penderita DM. Reaven dkk49 dalam penelitiannya mendapatkan bahwa pemberian vitamin E 1600 IU/hari selama 10 minggu dapat menurunkan kepekaan terhadap oksidasi LDL. Hipotesis yang menyatakan bahwa ada hubungan antara fungsi endotel dengan oksidasi LDL diteliti oleh Pinkney dkk50 dengan pemberian vitamin E 500 UI/hari pada 46 orang penderita DM tipe 1 selama 3 bulan. Dari hasil penelitiannya didapatkan hasil bahwa pemberian suplementasi vitamin E pada penderita DM tipe 1 dapat memperbaiki fungsi endotel tanpa perubahan pada oksidasi LDL. Hasil ini menunjukkan bahwa perbaikan fungsi endotel tidak dimediasi oleh adanya penurunan oksidasi LDL.

6. Terapi Sulih Hormonal
Terapi Suli Hormonal dengan estrogen dikatakan dapat memperbaiki fungsi endotel, namun sampai sekarang belum ada studi yang khusus dilakukan untuk mengetahui efek estrogen terhadap fungsi endotel pada wanita post menopause dengan diabetes.

1 comment:

Anonymous said...

BENER ITU SOB, MANGKANYA KITA HARUS WASPADA. KEMARIN SAYA DAPAT KABAR KURANG ENAK NIH, TERNYATA ASBES YANG BIASANYA DIPAKE UNTUK ATAP RUMAH JUGA SANGAT BERBAHAYA KALO PENGEN LIHAT BERITANYA, LIHAT DISINI
SEMOGA RUMAH KALIAN TIDAK MENGANDUNG ASBES YAAA SOBB